Minggu, 12 Februari 2012

SELAYANG PANDANG

SELAYANG PANDANG KERATON SURAKARTA
MANGKUNEGARA DAN MUSEUM SANGIRAN

(Oleh: Drs. Iyus Jayusman, M.Pd)

A.    Pengantar
Berbicara mengenai keberadaan keraton Surakarta, secara historis tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kerajaan Mataram yang pernah berdiri pada masa sebelumnya. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari kedinastian Mataram Islam yang pernah berjaya di bawah kepemimpinan Sultan Agung.
            Keraton Surakarta, atau lengkapnya disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (PB II) tahun 1944. Berdasar kepada bukti-bukti yang ada, keraton Surakarta didirikan sebagai pengganti istana Kartasura yang hancur akibat adanya pemberontakan etnik Cina tahun 1743 di Tanah Jawa.
            Keraton Surakarta sampai saat ini masih berdiri dengan demikian megahnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa Keraton Surakarta (KS) dibangun dengan menampilkan kemampuan seni arsitektur yang sangat tinggi. Berdasar kepada sumber yang ada, bahwa salah seorang arsitek dari KS adalah pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau dari kesultanan Yogjakarta.
            Jadi tidaklah begitu mengherankan, kalau seni arsitek keraton Yogyakarta dan KS dalam beberapa hal menunjukan kesamaan, karena keduanya dibangun oleh arsitek yang sama. Untuk lebih jelasnya, mengenai makna atau fungsi ruangan, koridor dan lain-lain yang ada di dalam KS akan secara mendetail  dijelaskan oleh pemandu dari pihak keraton.
            KS mewariskan khasanah seni budaya yang tidak ternilai harganya. Dalam seni budaya tersebut terkandung makna philosofis tingkat tinggi yang perlu kita apresiasi secara mendalam untuk diaplikasikan dalam kehidupan kondisi kekinian yang semakin chaos (kacau). Tentu saja dengan melalui kajian terhadap nilai kandungan philosofis yang ada dalam nilai-nilai budaya di lingkungan Keraton Surakarta, kita diharapkan akan lebih mampu masa depan yang lebih baik dengan penuh kearifan, dan terhindar dari ketakaburan.
            Dari sekian banyak ritual yang ada di KS, sedikitnya atau tiga diantaranya yaitu ritual upacara adat yang cukup terkenal dan menjadi pusat perhatian banyak orang, yaitu upacara GAREBEG, SEKATEN, dan  MALAM SATU SURO.
            Mengenai tujuan serta makna philosofis dari upacara ritual tersebut secara lebih detail akan diurai oleh pemandu keraton. Yang jelas, upacara Garebeg dan Sekaten secara rutin biasa dilaksanakan tiap bulan Maulud.


B. Lahir  Perkembangan Keraton Surakarta dan Mangkunegara

Seperti sudah disinggung sekilas di atas, bahwa keberadaan KS ada kaitan historis dengan kerajaan Mataram (KM) yang sudah berdiri pada masa sebelumnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan deskripsi di bawah.
Berdasar kepada bukti yang ada, baik itu bukti berupa artefac, mentifac, sociofac,  psicofac, religiofac dan barang kali ecofac, menunjukan bahwa istana atau keraton terakhir ke- dinastian Mataram didirikan di desa Sala (Solo). Atau tepatnya di area sebuah pelabuhan kecil di tepi barat bantaran Bengawan Solo. Dari bukti letak geografis atau keberadaan istana kerajaan Mataram tersebut, dapat diinterpretasi, bahwa KM setidaknya sebuah kerajaan yang terutama berbasiskan agraris (pertanian) dan dengan tidak mengabaikan sektor bahari (laut) sebagai sarana lalu lintas perdagangan.
            Sungguh sangat menarik, dan entah apa alasannya, mungkin ada pertimbangan politis, setelah istana KM selesai dibangun, nama desa (Sala/Solo) diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Dan sampai sa’at ini lokasi bekas KM dikenal dengan nama Surakarta.
            Memasuki pertengahan abad ke-18, KM mengalami instabilitas politik dan keamanan, barang kali ini sebagai dampak gangguan baik yang datang dari luar (eksternal) maupun dalam (internal). Gangguan dari luar, diantaranya yaitu semakin menguatnya posisi VOC (Kongsi Dagang Belanda) mengintervensi dan menguasai  sektor ekonomi-politik dari wilayah kekuasaan KM. Sedangkan gngguan dari dalam diantaranya perebutan kekuasaan  diantara petinggi elit politik di KM, di samping terjadinya pemberontakan yang dikorbankan oleh Trunajaya, Mas Said dan yang lainnya. Nama yang disebut terakhir (Mas Said), dikemudian hari ia akan menjadi penguasa diwilayah Mangkunegara yang statuta politiknya di bawah KS.
            Sebagai upaya penyelesaian intrik politik diwilayah kerajaan, barangkali, akhirnya PB II melakukan kolaborasi politik dengan  VOC yang tentu saja dengan persyaratan dan imbalan yang memberatkan pihak KM. dan perlu dipahami, ini merupakan titik awal kehancuran KM dalam kaitan dengan perluasan penguasaan wilayah ekonomi VOC.
            Konon, istana atau Kraton Surakarta ini, menjadi saksi bisu prahara penyerahan kedaulatan KM oleh PB II kepada VOC tahun 1749. Sungguh sangat tragis keadaan politik KM ketika itu. Barangkali ini  sebagai bahan renungan, kontemplatif untuk kita yang hidup dalam kondisi kekinian.
            Nasib KM lebih teragis lagi, yaitu pasca perjanjian Gyanti tahun 1755. Berdasar isi   perjanjian Gyanti, bahwa wilayah kekuasaan  KM dipecah menjadi dua,  yakni menjadi wilayah kekuasaan Kesunanan dan wilayah kekuasaan Kesultanan. Wilayah kesunanan pusat pemerintahannya terkonsentrasi di Surakarta yaitu Kesunanan Surakarta yang dipimpin oleh seorang Sunan, dan wilayah kesultanan pusat pemerintahannya terkonsentrasi di Yogyakarta yaitu kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang Sultan.
            Setelah KM terpecah menjadi dua wilayah kekuasaan, yakni kesultanan dan kesunanan, bahkan ada wilayah kekuasaan yang lainnya, yaitu Mangkunegara yang secara politis ada di bawah kekuasaan Kesunanan Surakarta. Kondisi dis-integrasinya KM semakin memberi peluang yang lebih leluasa kepada VOC untuk menguasai tanah Jawa. Namun, kendatipun demikian wilayah Jawa pedalaman relative aman dari jangkauan VOC, dengan alasan, karena aktivitas perniagaan orang-orang VOC lebih terkonsentrasi di pesisir pantai. Sedangkan suplai barang dagangan ke wilayah pantai yang akan dibeli oleh VOC dilakukan oleh para penguasa lokal yang berdomisili di wilayah pedalaman. Dan diantara keduanya ada pelaku dagang perantara yang posisinya dikendalikan oleh orang-orang China.
            Dalam perkembangan selanjutnya, setelah PB II wafat, kendali kekuasaan politik di KS dijalankan oleh  PB III. Sungguh sangat disayangkan, pasca meninggalnya PB II, antara Hamengkubuwono I dari Kesultanan Yogyakarta, PB III dari Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegara tidak terjalin hubungan yang  kondusif. Kondisi tersebut  dilatarbelakangi oleh harapan dan keinginan diantara mereka sama, yaitu ingin menguasai kembali Jawa secara utuh seperti di jaman KM. Demi kekuasaan, diantara keturunan mereka pernah ditempuh melalui jalinan perkawinan diantara putra atau putri ketiga penguasa. Hasilnya absurditas.
            Memasuki awal abad ke-XIX, di Hindia Belanda terjadi pergeseran dan peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Hindia Belanda. Kendati telah terjadi pergeseran peta politik, dalam realitasnya peta politik di Jawa tetap bertahan seperti pada masa-masa sebelumnya. Bahkan pada tahun 1825 muncul perjuangan Pangeran Dipanegara menentang kolonial Belanda dan menentang perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan keraton yang dipandang dan dianggap oleh Pangeran Dipanegara telah terkontaminasi oleh kehidupa kaum kafir    

C.    Manusia Purba dari Saringan
         
Sangiran adalah suatu tempat atau lokasi di mana banyak ditemukan tulang belulang (fosil) manusia purba dari jawa atau disebut Meganthropus Paleojavanicus. Berdasar kepada banyaknya ditemukan fosil manusia purba, maka  di Sangiran didirikan museum yang akan kita kunjungi dalam rangka  kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Museum Sangiran ini special menampung fosil manusia purba yang banyak ditemukan di daerah sekitar.

Diprediksi, bahwa Meganthropus Paleojavanicus (MP) ini sudah ada di Sangiran sejak jaman batu tua (paleolithicum). Dan diperkirakan, mereka pernah hidup atau keberadaannya 2 juta sampai 1 juta tahun yang lalu. Ciri produk budaya hasil cipta dan karsa dari manusia purba jenis MP ini sangat sederhana, dan produk budayanya berusia paling tua bila dibandingkan dengan produk-produk budaya yang pernah ditemukan khususnya di tanah Jawa.

Diperkirakan, keberadaan serta kemunculan manusia purba jenis MP ini, yaitu pada masa kala Pletosen awal atau ketika terjadinya peristiwa peng-es-an di muka bumi ini.

Sisa fosil MP yang diketemukan di Sangiran ini dalam keadaan tidak lengkap, artinya ada beberapa bagian organ tubuh yang tidak ada. Namun kendatipun demikian, hasil rekonstruksi sisa posill yang ada dapat diketahui,  bahwa MP bentuk tubuhnya tinggi dan besar, otot rahang kuat, tetapi tidak memiliki dagu yang jelas dan pada bagian tertentu terdapat penonjolan seperti kening, kepala bagian belakang dan tulang pipi.

Perlu pula ditambahkan, bahwa pada masa kala plestosen awal ini hidup juga Pithecanthropus Mojoketensis (PM) yang sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungannya dengan MP.

Perlu pula diketahui, pada masa kala Plestosen tengah, hidup manusia Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Soloensis. Untuk yang disebut terakhir fosilnya ditemukan disekitar lembah bengawan Solo.


Drs. Iyus Jayusman, M.Pd.
Alumni Jurusan Sejarah UNPAD tahun 1987
Pada tahun 1988 diangkat menjadi dosen tetap di Prodi Pendidikan Sejarah UNSIL
Dewasa ini membina mata kuliah:
-          Pengantar Ilmu Sejarah
-          Metodologi Penelitian Sejarah
-          Historiografi Indonesia
-          Sejarah Kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur
-          Logika dan Filsafat Sejarah
-          Sejarah Demokrasi Liberal dan Terpimpin.
            

SELAYANG PANDANG

SELAYANG PANDANG KERATON SURAKARTA
MANGKUNEGARA DAN MUSEUM SANGIRAN

(Oleh: Drs. Iyus Jayusman, M.Pd)

A.    Pengantar
Berbicara mengenai keberadaan keraton Surakarta, secara historis tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kerajaan Mataram yang pernah berdiri pada masa sebelumnya. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari kedinastian Mataram Islam yang pernah berjaya di bawah kepemimpinan Sultan Agung.
            Keraton Surakarta, atau lengkapnya disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (PB II) tahun 1944. Berdasar kepada bukti-bukti yang ada, keraton Surakarta didirikan sebagai pengganti istana Kartasura yang hancur akibat adanya pemberontakan etnik Cina tahun 1743 di Tanah Jawa.
            Keraton Surakarta sampai saat ini masih berdiri dengan demikian megahnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa Keraton Surakarta (KS) dibangun dengan menampilkan kemampuan seni arsitektur yang sangat tinggi. Berdasar kepada sumber yang ada, bahwa salah seorang arsitek dari KS adalah pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau dari kesultanan Yogjakarta.
            Jadi tidaklah begitu mengherankan, kalau seni arsitek keraton Yogyakarta dan KS dalam beberapa hal menunjukan kesamaan, karena keduanya dibangun oleh arsitek yang sama. Untuk lebih jelasnya, mengenai makna atau fungsi ruangan, koridor dan lain-lain yang ada di dalam KS akan secara mendetail  dijelaskan oleh pemandu dari pihak keraton.
            KS mewariskan khasanah seni budaya yang tidak ternilai harganya. Dalam seni budaya tersebut terkandung makna philosofis tingkat tinggi yang perlu kita apresiasi secara mendalam untuk diaplikasikan dalam kehidupan kondisi kekinian yang semakin chaos (kacau). Tentu saja dengan melalui kajian terhadap nilai kandungan philosofis yang ada dalam nilai-nilai budaya di lingkungan Keraton Surakarta, kita diharapkan akan lebih mampu masa depan yang lebih baik dengan penuh kearifan, dan terhindar dari ketakaburan.
            Dari sekian banyak ritual yang ada di KS, sedikitnya atau tiga diantaranya yaitu ritual upacara adat yang cukup terkenal dan menjadi pusat perhatian banyak orang, yaitu upacara GAREBEG, SEKATEN, dan  MALAM SATU SURO.
            Mengenai tujuan serta makna philosofis dari upacara ritual tersebut secara lebih detail akan diurai oleh pemandu keraton. Yang jelas, upacara Garebeg dan Sekaten secara rutin biasa dilaksanakan tiap bulan Maulud.

B.     B. Lahir  Perkembangan Keraton Surakarta dan Mangkunegara

Seperti sudah disinggung sekilas di atas, bahwa keberadaan KS ada kaitan historis dengan kerajaan Mataram (KM) yang sudah berdiri pada masa sebelumnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan deskripsi di bawah.
Berdasar kepada bukti yang ada, baik itu bukti berupa artefac, mentifac, sociofac,  psicofac, religiofac dan barang kali ecofac, menunjukan bahwa istana atau keraton terakhir ke- dinastian Mataram didirikan di desa Sala (Solo). Atau tepatnya di area sebuah pelabuhan kecil di tepi barat bantaran Bengawan Solo. Dari bukti letak geografis atau keberadaan istana kerajaan Mataram tersebut, dapat diinterpretasi, bahwa KM setidaknya sebuah kerajaan yang terutama berbasiskan agraris (pertanian) dan dengan tidak mengabaikan sektor bahari (laut) sebagai sarana lalu lintas perdagangan.
            Sungguh sangat menarik, dan entah apa alasannya, mungkin ada pertimbangan politis, setelah istana KM selesai dibangun, nama desa (Sala/Solo) diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Dan sampai sa’at ini lokasi bekas KM dikenal dengan nama Surakarta.
            Memasuki pertengahan abad ke-18, KM mengalami instabilitas politik dan keamanan, barang kali ini sebagai dampak gangguan baik yang datang dari luar (eksternal) maupun dalam (internal). Gangguan dari luar, diantaranya yaitu semakin menguatnya posisi VOC (Kongsi Dagang Belanda) mengintervensi dan menguasai  sektor ekonomi-politik dari wilayah kekuasaan KM. Sedangkan gngguan dari dalam diantaranya perebutan kekuasaan  diantara petinggi elit politik di KM, di samping terjadinya pemberontakan yang dikorbankan oleh Trunajaya, Mas Said dan yang lainnya. Nama yang disebut terakhir (Mas Said), dikemudian hari ia akan menjadi penguasa diwilayah Mangkunegara yang statuta politiknya di bawah KS.
            Sebagai upaya penyelesaian intrik politik diwilayah kerajaan, barangkali, akhirnya PB II melakukan kolaborasi politik dengan  VOC yang tentu saja dengan persyaratan dan imbalan yang memberatkan pihak KM. dan perlu dipahami, ini merupakan titik awal kehancuran KM dalam kaitan dengan perluasan penguasaan wilayah ekonomi VOC.
            Konon, istana atau Kraton Surakarta ini, menjadi saksi bisu prahara penyerahan kedaulatan KM oleh PB II kepada VOC tahun 1749. Sungguh sangat tragis keadaan politik KM ketika itu. Barangkali ini  sebagai bahan renungan, kontemplatif untuk kita yang hidup dalam kondisi kekinian.
            Nasib KM lebih teragis lagi, yaitu pasca perjanjian Gyanti tahun 1755. Berdasar isi   perjanjian Gyanti, bahwa wilayah kekuasaan  KM dipecah menjadi dua,  yakni menjadi wilayah kekuasaan Kesunanan dan wilayah kekuasaan Kesultanan. Wilayah kesunanan pusat pemerintahannya terkonsentrasi di Surakarta yaitu Kesunanan Surakarta yang dipimpin oleh seorang Sunan, dan wilayah kesultanan pusat pemerintahannya terkonsentrasi di Yogyakarta yaitu kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang Sultan.
            Setelah KM terpecah menjadi dua wilayah kekuasaan, yakni kesultanan dan kesunanan, bahkan ada wilayah kekuasaan yang lainnya, yaitu Mangkunegara yang secara politis ada di bawah kekuasaan Kesunanan Surakarta. Kondisi dis-integrasinya KM semakin memberi peluang yang lebih leluasa kepada VOC untuk menguasai tanah Jawa. Namun, kendatipun demikian wilayah Jawa pedalaman relative aman dari jangkauan VOC, dengan alasan, karena aktivitas perniagaan orang-orang VOC lebih terkonsentrasi di pesisir pantai. Sedangkan suplai barang dagangan ke wilayah pantai yang akan dibeli oleh VOC dilakukan oleh para penguasa lokal yang berdomisili di wilayah pedalaman. Dan diantara keduanya ada pelaku dagang perantara yang posisinya dikendalikan oleh orang-orang China.
            Dalam perkembangan selanjutnya, setelah PB II wafat, kendali kekuasaan politik di KS dijalankan oleh  PB III. Sungguh sangat disayangkan, pasca meninggalnya PB II, antara Hamengkubuwono I dari Kesultanan Yogyakarta, PB III dari Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegara tidak terjalin hubungan yang  kondusif. Kondisi tersebut  dilatarbelakangi oleh harapan dan keinginan diantara mereka sama, yaitu ingin menguasai kembali Jawa secara utuh seperti di jaman KM. Demi kekuasaan, diantara keturunan mereka pernah ditempuh melalui jalinan perkawinan diantara putra atau putri ketiga penguasa. Hasilnya absurditas.
            Memasuki awal abad ke-XIX, di Hindia Belanda terjadi pergeseran dan peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Hindia Belanda. Kendati telah terjadi pergeseran peta politik, dalam realitasnya peta politik di Jawa tetap bertahan seperti pada masa-masa sebelumnya. Bahkan pada tahun 1825 muncul perjuangan Pangeran Dipanegara menentang kolonial Belanda dan menentang perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan keraton yang dipandang dan dianggap oleh Pangeran Dipanegara telah terkontaminasi oleh kehidupa kaum kafir    


C.     C. Manusia Purba dari Sangiran
.
Sangiran adalah suatu tempat atau lokasi di mana banyak ditemukan tulang belulang (fosil) manusia purba dari jawa atau disebut Meganthropus Paleojavanicus. Berdasar kepada banyaknya ditemukan fosil manusia purba, maka  di Sangiran didirikan museum yang akan kita kunjungi dalam rangka  kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Museum Sangiran ini special menampung fosil manusia purba yang banyak ditemukan di daerah sekitar.

Diprediksi, bahwa Meganthropus Paleojavanicus (MP) ini sudah ada di Sangiran sejak jaman batu tua (paleolithicum). Dan diperkirakan, mereka pernah hidup atau keberadaannya 2 juta sampai 1 juta tahun yang lalu. Ciri produk budaya hasil cipta dan karsa dari manusia purba jenis MP ini sangat sederhana, dan produk budayanya berusia paling tua bila dibandingkan dengan produk-produk budaya yang pernah ditemukan khususnya di tanah Jawa.

Diperkirakan, keberadaan serta kemunculan manusia purba jenis MP ini, yaitu pada masa kala Pletosen awal atau ketika terjadinya peristiwa peng-es-an di muka bumi ini.

Sisa fosil MP yang diketemukan di Sangiran ini dalam keadaan tidak lengkap, artinya ada beberapa bagian organ tubuh yang tidak ada. Namun kendatipun demikian, hasil rekonstruksi sisa posill yang ada dapat diketahui,  bahwa MP bentuk tubuhnya tinggi dan besar, otot rahang kuat, tetapi tidak memiliki dagu yang jelas dan pada bagian tertentu terdapat penonjolan seperti kening, kepala bagian belakang dan tulang pipi.

Perlu pula ditambahkan, bahwa pada masa kala plestosen awal ini hidup juga Pithecanthropus Mojoketensis (PM) yang sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungannya dengan MP.

Perlu pula diketahui, pada masa kala Plestosen tengah, hidup manusia Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Soloensis. Untuk yang disebut terakhir fosilnya ditemukan disekitar lembah bengawan Solo.


Drs. Iyus Jayusman, M.Pd.
Alumni Jurusan Sejarah UNPAD tahun 1987
Pada tahun 1988 diangkat menjadi dosen tetap di Prodi Pendidikan Sejarah UNSIL
Dewasa ini membina mata kuliah:
-          Pengantar Ilmu Sejarah
-          Metodologi Penelitian Sejarah
-          Historiografi Indonesia
-          Sejarah Kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur
-          Logika dan Filsafat Sejarah
-          Sejarah Demokrasi Liberal dan Terpimpin.