Kamis, 19 Mei 2011

ARTI PENTING NAMA SEBUAH JALAN


Oleh Iyus Jayusman

Pengantar
       Dengan melalui judul tulisan termaksud di atas, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai betapa penting dan berartinya memberi nama ruas jalan dengan memakai nama tokoh atau para pejuang sebagai pelaku dari suatu peristiwa sejarah. Tokoh atau pejuang dimaksud, baik yang pernah berjuang ditingkat lokal maupun nasional bahkan internasional. Mereka berjuang  untuk kepentingan bangsa dan negara.
       Ruas jalan diberi nama tokoh-tokoh pejuang, bukanlah sesuatu yang dianggap berlebihan, dalam arti pengkultusan. Negara-negara di dunia, baik itu yang statusnya sebagai negara maju, berkembang, bahkan yang miskin sekalipunpun, sudah sangat dipastikan, pemerintahnya memberi nama beberapa ruas jalan dengan nama tokoh yang pernah berjasa besar untuk bangsa dan negara. Di Indonesia, pemberian nama jalan memakai nama tokoh pejuang sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan tahun 1945. Sebagai contoh, jalan yang ada di  pusat ibu kota negara (Jakarta), provinsi, kabupaten, bahkan jalan yang ada dipeloksok pedesa  sekalipun, dewasa ini diantaranya  sudah ada yang memakai nama tokoh.

Kriteria Tokoh
       Berbicara kriteria berarti ada hubungan terkait dengan wacana layak atau tidak  layaknya nama seorang tokoh untuk diabadikan namanya untuk nama suatu ruas jalan. Ketika akan memakai nama seorang tokoh pejuang untuk dijadikan nama suatu ruas jalan, semestinya perlu dipertimbangkan secara matang, artinya harus dilihat secara jernih dan objektif, bagaimana sepak terjang perjuangan dari tokoh tersebut dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara pada saat negeri ini ada dalam keadaan bahaya.
       Kalau kita menengok serta memperhatikan sejarah panjang dari negeri Indonesia ini, sangat memungkinkan akan munculnya banyak tokoh pejuang yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam usaha merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Diantara mereka ada yang berjuang di abad ke-19, barangkali mereka ini adalah generasi pejuang yang segenerasi dengan Pangeran Dipanegara, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, R.A. Kartini dan yang lainnya. 
       Sepanjang awal sampai pertengahan abad ke-20 bermunculan pula  nama-nama tokoh pejuang yang banyak berkiprah dalam Pergerakan Nasional (1908-1945), dan Perang Kemerdekaan (1945-1949). Demikian pula, pada  masa-masa seterusnyapun, yakni periode mengisi kemerdekaan sampai sekarang menyimpan potensi munculnya banyak nama tokoh pejuang. Menurut para akhli teori sejarah, mereka para pejuang yang berjuang pada abad ke-19, adalah mereka yang berjuang menggunakan strategi perjuangan yang relatif masih sangat sederhana (tradisional), sedangkan para pejuang yang berkiprah diawal dan pertengahan abad ke-20, sudah memakai strategi perjuangan modern, artinya sudah memakai wadah perjuangan dalam bentuk organisasi modern. Contoh terbaik mungkin bisa perhatikan mengenai keberadaan organisasi Budi Utomo, PNI, Partindo, Parindra, PNI-Pendidikan, NU, Muhammadiyah, MIAI, Masyumi dan lain sebagainya.
       Dengan  banyaknya muncul nama tokoh dalam lembaran-lembaran sejarah nasional Indonesia, pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, semestinya harus lebih selektif kalau akan memakai nama tokoh tersebut untuk diabadikan sebagai nama jalan. Setidaknya untuk keperluan tersebut harus diberlakukan criteria yang mengarah kepada layak tidaknya tokoh tersebut namanya diabadikan untuk nama sebuah jalan. Layak tidaknya di sini, artinya tokoh tersebut harus diketahui secara komprehensif latar belakang kehidupannya serta perjuangannya dan diberikan kepadanya interpreatasi secara obyektif yang terbebas dari pemikiran like and dis-like, dan tidak boleh ada kolusi. Tentu saja dalam hal ini harus didengar pula masukan-masukan yang dilontarkan oleh masyarakat, karena mereka juga punya hak untuk memberikan penilaian terhadap tokoh yang namanya akan diabadikan menjadi nama ruas jalan. Kepada tokoh pejuang, kita (khususnya sejarawan) jangan memvonis, tetapi harus memberikan apresiasi, interpretasi berdasarkan bukti-bukti yang ada. Kalau langkah tersebut sudah ditempuh, niscaya akan kelihatan keajegan perjuangan dari tokoh tersebut dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Tidak sedikit para tokoh pejuang dimasa lalu yang agak melenceng perjuangannya dari cita-cita yang sebenarnya. Sebagai ilustrasi, ada seorang pejuang, atau mantan pejuang, karena alasan perjuangannya dimasa lalu, oleh yang meyang berlebihan terhadap negeri ini, karena alasan tertentu, malah ia menjadi tidak amanah.  Harus waspada.

Pembelajaran dan Pewarisan Nilai
       Para akhli teori sejarah mengatakan, belajarlah dari sejarah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, history is make man of wisdom, history is frame of reference   dan masih banyak  ungkapan senada yang pernah diucapkan oleh para politisi maupun negarawan.Di pintu masuk sebuah Museum yang ada di Brazil ada terdapat tulisan dengan kata-kata: you can leave of museum, but you cant leave of history. Dalam ungkapan-ungkapan tersebut, bagaimanapun terkandung makna filosofis yang demikian penting dan mendalam untuk dipikirkan, direnungkan, dan diaflikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau kehidupan nyata dalam keseharian. Dengan ungkapan-ungkapan tersebut, sepertinya mereka para akhli ingin mengatakan, bahwa sejarah dapat difungsikan sebagai alat atau obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit warga bangsa yang sedang mengalami sakit-sakitan sebagai dampak dari modernisasi diberbagai sector kehidupan.
       Kalau memang mereka memandang sejarah mempunyai arti penting dalam pembentukan karakteristik mental bangsa, sekarang yang menjadi pertanyaannya yaitu bagaimana memfungsikan sejarah untuk kepentingan  maksud seperti tertera di atas. Secara teoretis bahwa sejarah itu sedikitnya mempunyai tiga kegunaan. Pertama, kegunaan edukatif (pendidikan); kedua, kegunaan inspiratif, dan ketiga kegunaan rekreatif.
       Bagaimanapun, penamaan ruas jalan dengan memakai nama para tokoh pejuang atau pahlawan, disadari atau tidak, sebetulnya itu ada hubungan terkait  dengan ketiga kegunaan sejarah tersebut di atas. Sebagai contoh, di kota Tasikmalaya ada beberapa jalan utama yang diberi nama tokoh pejuang atau pahlawan. Jalan dimaksud diantaranya, yaitu Jalan Kiai Haji Zaenal Mustofa, yang membentang dari arah kota disebelah utara ke selatan, dan berakhir di daerah Padayungan. Menurut hemat penulis, jalan tersebut  diberi nama tokoh pejuang atau pahlawan  K.H. Zaenal Mustofa, itu sudah merupakan suatu langkah yang sangat strategis, dan sekaligus akan memberi arti edukatif, inspiratif, dan rekreatif kepada siapa saja yang melintas atau menginjakkan kaki di jalan termaksud.
       Setiap hari ratusan bahkan ribuan orang melewati, menginjakkan kaki di Jalan K.H. Zaenal Mustofa, tentu saja mereka datang dan pergi dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Perlu dipahami, banyaknya orang setiap hari datang menginjakkan kaki, juga melintas di Jalan K.H. Zaenal Mustofa, karena disepanjang jalan tersebut terdapat pusat perbelanjaan yang cukup besar untuk ukuran kota Tasikmalaya yang sangat diminati untuk dikunjungi orang. Barangkali dapat dikatakan, bahwa apa yang diinginkan oleh para pengunjung,  semuanya sudah tersedia secara lengkap   di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Jalan tersebut. Untuk itu, tidaklah terlalu mengherankan, kalau Jalan K.H. Zaenal Mustofa setiap harinya banyak dikunjungi orang.
       Semestinya  mereka - yang setiap saat dan setiap hari berjubel-jubel memadati trotoar  disepanjang Jalan K.H.Zaenal Mustofa – harus sambil memikirkan serta meng-edukasi peran-peran heroisme yang pernah dilakukan oleh K.H. Zaenah Mustofa dalam usahanya menentang pemerintah pendudukan Jepang yang ketika itu kaki tangannya sudah berulah di daerah Tasikmalaya. Di samping itu, sudah barang tentu ketika kita berjalan atau berada di pusat perbelanjaan  di Jalan K.H. Zaenal Mustofa pada dasarnya sedang memasuki serta menjalani fungsi atau kegunaan sejarah urutan kedua dan ketiga, yaitu guna inspiratif dan guna rekreatif. Dalam realisasiya, ketiga guna sejarah ini bisa dijalani secara serempak dalam waktu yang bersamaan. Artinya, ketika kita sedang berbelanja, kita harus bisa  sambil menarik berbagai pembelajaran dari tokoh pejuang  K.H. Zaenal Mustofa; tentunya kalau sudah bisa menarik pembelajaran, semestinya otomatis kita akan terinspirasi untuk mewarisi  jiwa juang yang pernah dimiliki K.H. Zaenal Mustofa. Dan terakhir, kita berkunjung ke pusat perbelanjaan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, tentunya sambil rekreatif (fungsi ketiga) atau refresing.
       Kita yang hidup pada dasawarsa kedua diawal abad ke-21 ini, pada dasarnya kita ini adalah akhli waris dari para pejuang. Dalam menjalankan fungsi tersebut, kita harus bertanggung jawab dalam meng-estafetkan nilai-nilai juang yang pernah dimiliki para pejuang guna ditransformasikan kepada generasi yang ada di belakang kita. Kecenderungan  kegagalan dalam transformasi nilai-nilai ini sebetulnya sangat memungkinkan, adapun alasannya, barangkali multi faktor dan multi dimensi sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari globalisasi. Salah besar kalau kita  menolak globalisasi, justru sebaliknya, kita harus mampu bersaing dalam kancah globalisasi untuk mencapai kemajuan, kesetaraan,  tanpa kehilangan roh atau jiwa sebagai bangsa Indonesia.
          Sebetulnya masih ada beberapa ruas jalan di kota Tasikmalaya yang diberi nama  tokoh pejuang atau pahlawan, bahkan ada juga yang memakai nama suatu organisasi perjuangan yang pernah berkiprah dimasa Perang Kemerdekaan, seperti Jalan Laswi (Laskar Wanita Indonesia), Jalan Tentara Pelajar, Jalan Veteran dan lain sebagainya. Pemerintah dalam memakai nama pahlawan atau organisasi perjuangan untuk nama sebuah ruas jalan sesungguhnya tidak asal pakai. Hal ini dilakukan setelah ditempuh melalui suatu kajian penelitian yang mendalam  dan  komprehensif, dengan maksud dan tujuannya untuk melihat keterkaitan latar  historis dari  tokoh dimaksud dengan daerah setempat. Sebagai contoh, mengapa di Tasikmalaya ada jalan diberi nama  Dr. Mohammad Hatta, padahal beliau (Bung Hatta) adalah orang Padang yang karier perjuangannya berawal dari daerahnya sendiri dan berakhir di Jakarta dalam level nasional. Ternyata Bung Hatta (setelah menjadi wakil presiden RI pertama), tepatnya bulan Juli tahun 1947 beliau  pernah datang di Tasikmalaya dalam rangka menghadiri Kongres Koperasi Pertama.  Berdasarkan catatan sejarah, kongres tersebut telah menghasilkan beberapa keputusan penting yang sangat menentukan bagi perkembangan perkoperasian secara nasional di masa-masa selanjutnya. Salah satu hasil kongres  diantaranya menentukan, setiap tanggal 12 Juli diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia. Contoh lain yang perlu diteliti kembali peran kesejarahannya, mengingat karena namanya diabadikan menjadi nama jalan di kota Tasikmalaya, diantaranya adalah tokoh yang bernama SL. Tobing, Sewaka, Rd. Dewi Sartika, RE. Martadinata dan nama yang lainnya, padahal mereka bukan warga asli Tasikmalaya, tapi punya kontribusi histories untuk perjuangan warga Tasikmalaya.

Penutup
      Pemberian nama ruas jalan, baik itu jalan yang ada di tingkat desa, ibu kota kabupaten, pemkot, provinsi maupun negara, terutama yang terkait dengan nama tokoh pejuang atau pahlawan, secara psikologis akan memberikan arti penting tersendiri  bagi jiwa warga dalam upaya membangun semangat  patriotik, heroik dalam mengisi, mengawal pembangunan. Dalam pengertian tersebut terkait pula di dalamnya, arti penting sejarah sebagai bahan pembelajaran dan sebagai estafet pewarisan nilai-nilai.

       Satu hal penting dan selanjutnya memang perlu ditindaklanjuti, yaitu agar setiap  jalan terutama yang diberi nama tokoh pejuang atau pahlawan perlu ada deskripsinya secara lebih lengkap, tujuannya untuk membantu anak didik kita atau wisatawan ketika mereka ingin mengetahui lebih jauh  jati diri tokoh pejuang atau pahlawan termaksud. Atau guna kepentingan akademis lainnya.

Catatan:
Penulis adalah Sejarawan dan Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Univesitas Siliwangi Tasikmalaya